Dulu, mahasiswa Zaman Orde Baru dengan rela turun ke lapangan demi politik. Namun, apakah mahasiswa zaman sekarang akan melakukannya?
Kamu dapat menyimpulkan sendiri jawaban dari pertanyaan tersebut, mengingat kurangnya aksi riil di lapangan. Di media sosial, kolom komentar bukanlah tempat yang baik untuk bertukar pikiran karena kemungkinan perselisihan antar netizen yang tinggi. Politik yang sulit diinterpretasi melalui media membuat kita merasa tidak terlibat.
Mengapa demikian? Mungkin karena kita masih melihat politik bukan ranah anak muda, atau karena kita memandang politik hanya sebagai tontonan semata. Ironisnya, kita lebih tertarik pada berbagai hiburan dibanding politik. Oleh karena itu, media massa dan politisi menciptakan isu-isu dari yang penting hingga tidak penting, yang memiliki data dan fakta maupun yang tidak. Namun, apakah slogan “bad news is for the sake of good news” yang sering muncul di media untuk menarik pemirsa dapat diterapkan dalam politik dengan mengambil pendekatan entertainment?
Tanpa mengesampingkan netralitas, beberapa contoh kejadian belakangan ini dapat diambil sebagai ilustrasi. Misalnya, kasus Sandiaga Uno yang awalnya membahas polemik pribumi, namun kemudian beralih menjadi pembahasan lip balm. Sandiaga bahkan merasa perlu menjawab rasa penasaran netizen mengenai lip balm yang digunakannya. Biasanya, hal-hal sepele seperti ini berkaitan dengan selebriti, bukan politisi, dan sering muncul dalam majalah hiburan atau acara infotainment, bukan sebagai berita langsung.
Begitu pula dengan kasus-kasus seperti Ratna Sarumpaet, tagar #papamintasaham, atau kecelakaan Setya Novanto yang menjadi sorotan bahkan menjadi guyonan di media sosial. Pemberitaan semakin membingungkan, antara politik atau infotainment? Atau mungkin keduanya sudah sulit dibedakan?
Kasus-kasus ini seolah merupakan hasil perpaduan antara politik dan industri hiburan, menciptakan ikatan antara aktor, topik, dan proses politik dengan budaya hiburan media. Dari sini lahirlah istilah politainment (politik entertainment), yang sebenarnya telah diselidiki oleh beberapa ahli politik dan komunikasi seperti David Schultz dan Justus Nieland. Meskipun pada awalnya konten politik terlihat menguntungkan, politainment memberikan ruang bagi politisi untuk mengembangkan strategi komunikasi mereka. Namun, politainment juga membawa masalah serius.
Politainment mengurangi kepentingan hal-hal yang sebenarnya penting dalam politik, seperti program dan data, kredibilitas, dan kapabilitas. Media cenderung fokus pada aspek-aspek tertentu dari politik yang bisa menjadi hiburan bagi penonton. Momen-momen dari politisi dieksploitasi untuk menghasilkan konten yang menghibur.
Semua ini berfokus pada pencitraan politisi. Masing-masing politisi bisa memilih citra yang sesuai dengan strategi dan performa komunikasinya di media. Citra inilah yang memengaruhi pandangan kita terhadap proses politik. Kita menjadi terlibat secara emosional oleh aktor-aktor politik yang kita saksikan, mirip seperti dalam sinetron, di mana sikap politik kita ditentukan oleh empati pada tokoh protagonis dan kebencian pada tokoh antagonis.
Akhirnya, produk media hanya menciptakan citra, bukan menyajikan data dan fakta. Seberapa banyak yang mengetahui visi misi pemerintah yang telah atau akan dipilih? Media terlalu sibuk menciptakan kasus-kasus untuk menghasilkan tontonan, hingga melupakan bahwa warga negara membutuhkan informasi kampanye yang berkualitas. Akhirnya, kita memilih politisi seperti memilih aktor favorit dan membela mereka dengan penuh semangat, bahkan melawan kubu sebelah. Perbedaan antara warga negara dan penggemar menjadi kabur.
Namun, semua ini tidak boleh menjadi alasan untuk pesimis dan mengabaikan politik. Politik adalah pembentuk peradaban. Sebagai contoh, pada Juni 2018, perempuan baru diperbolehkan mendapatkan SIM di Arab Saudi, dan RRC (Republik Rakyat Cina) bahkan memblokir akses Google saat pemimpin negara mengadakan rapat. Cania Citta Irlanie menekankan bahwa kita seringkali menganggap hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa di Indonesia, namun hal tersebut tidak terjadi di negara lain. Kenetralan tidak boleh menjadi alasan untuk tidak memilih. Perlawanan diam dapat membahayakan masa depan Indonesia. Oleh karena itu, bagaimana sikap kita terhadap kondisi media sosial saat ini?
Jangan biarkan politainment menghalangi kita untuk benar-benar sadar akan informasi politik yang layak diterima. Jangan sampai kita menyerah pada keadaan. Mari kita melek politik!