Zahran Nizar, Peserta COC Season 2 yang Disorot Media Usai Alami Cyberbullying: Apresiasi atau Eksploitasi

4 July 2025
View

Belakangan ini, nama Zahran Nizar Fadhlan ramai dibicarakan di media sosial. Ia adalah mahasiswa Teknik Dirgantara ITB dengan IPK 3,94 yang mengikuti ajang Clash of Champions (COC) Season 2, sebuah kompetisi pendidikan bergengsi dari Ruangguru. Dengan segudang prestasi di bidang fisika dan astronomi, Zahran seharusnya menjadi inspirasi generasi muda. Namun alih-alih mendapat apresiasi, ia justru menjadi sasaran perundungan di internet. Komentar-komentar bernada menghina dan merendahkan bermunculan, bukan karena kekurangan dalam prestasi, tetapi karena penampilannya.

Kasus ini viral dalam waktu singkat. Di balik gelombang komentar negatif, banyak pula warganet yang menunjukkan dukungan kepada Zahran. Mereka mengutuk tindakan body shaming yang ia terima dan membela Zahran sebagai sosok yang layak dihargai, bukan dihina. Dukungan dari masyarakat inilah yang mendorong banyak media dan akun kutipan di media sosial ikut mengangkat kisahnya. Melalui tulisan dan unggahannya, para media memberi apresiasi atas prestasi Zahran sekaligus menyuarakan penolakan terhadap perundungan berbasis fisik.

Namun, dari banyaknya unggahan yang dibuat, ada satu hal yang perlu dikritisi yaitu penggunaan wajah Zahran yang ditampilkan secara jelas dan berulang-ulang. Meskipun konteks pemberitaan bersifat mendukung, pertanyaannya adalah apakah tindakan ini sudah tepat secara etika?

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa menampilkan foto Zahran akan membantu audiens memahami konteks berita secara lebih cepat. Tapi dalam etika jurnalistik, terlebih saat menyangkut korban cyberbullying, media seharusnya lebih berhati-hati. Menunjukkan wajah korban di ruang publik, terutama dalam situasi yang sebelumnya membuatnya diserang secara massal, bisa memperpanjang trauma atau membuka kembali luka yang belum pulih. Tak semua korban nyaman dengan eksposur, meski sudah memberikan izin dan media bertanggung jawab untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pilihan editorial tersebut.

Panduan dari Media Helping Media menyebutkan bahwa jurnalis harus menghormati privasi individu, terutama mereka yang berada dalam posisi rentan. Dalam panduan tersebut tertulis, “Respect a person’s privacy, especially the vulnerable. Never expose someone to ridicule and humiliation.” 

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Society of Professional Journalists (SPJ), yang mendorong jurnalis untuk menunjukkan empati, terutama terhadap korban kekerasan. Prinsip mereka jelas yaitu “Minimize harm.” Jurnalis dituntut untuk tidak hanya memikirkan konten yang menarik, tetapi juga dampak psikologis terhadap subjek yang diberitakan. Dalam kasus cyberbullying seperti yang dialami Zahran, eksposur berlebihan terhadap identitas korban dapat memicu perundungan lanjutan atau membuat korban kembali merasa tidak aman di ruang publik.

Media memang punya peran penting dalam mengangkat cerita-cerita yang inspiratif. Namun, ada banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus memperlihatkan wajah atau identitas korban secara gamblang. Ilustrasi simbolik, narasi yang fokus pada prestasi, atau kutipan dari pernyataan korban yang disampaikan dengan persetujuan dan pengamanan yang matang bisa menjadi alternatif yang lebih etis.

Zahran berhak mendapatkan dukungan, bukan hanya karena prestasinya yang luar biasa, tapi juga karena keberaniannya bertahan di tengah sorotan publik yang tak selalu ramah. Tapi media juga punya peran dalam menentukan sejauh mana sorotan itu diarahkan. Karena dalam setiap cerita yang diangkat, ada rasa, luka, dan manusia yang perlu dijaga martabatnya. Mengangkat kisah inspiratif memang penting, tapi melindungi privasi dan empati adalah bentuk penghargaan yang tak kalah pentingnya.

© 2025 Bijakbersosmed.id. All Rights Reserved.